Disinformasi dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti berita palsu, rumor, propaganda, dan manipulasi citra. Selain itu, perilaku algoritma di platform media sosial dapat memperkuat fenomena "filter bubble," yang dapat membatasi akses pengguna ke perspektif dan informasi yang beragam, sehingga memperparah perpecahan dan ketidaksepahaman.
"Untuk melawan disinformasi membutuhkan kerjasama antara para ahli teknologi, akademisi, jurnalis, dan pengambil keputusan untuk mengembangkan pendekatan kolaboratif yang holistik dan efektif," jelasnya.
Baca Juga: Septic Tank Rumah Warga di Puncak Bogor Meledak, Satu Orang Jadi Korban
Prebunking Sebagai Vaksin.
Pemateri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Adi Marsela mengatakan, prebunking menjadi strategi untuk mempersiapkan dan melindungi orang dari informasi palsu atau hoaks sebelum mereka terpapar.
Harapannya, ketika orang menghadapi hoaks atau berita bohong, mereka sudah punya pengetahuan yang membuat mereka lebih skeptis dan kritis.
Sementara debunking adalah proses mengungkap atau membantah klaim, rumor, atau informasi yang salah atau menyesatkan dengan menggunakan bukti dan fakta.
"Dalam konteks penyebaran hoaks atau berita palsu, debunking sangat penting untuk memastikan bahwa informasi yang beredar adalah akurat dan tidak menyebabkan kebingungan atau kerugian," terangnya.
Sementara itu, Managing Editor Kompas.com, Johanes Heru Margianto yang menjadi pemateri kedua menjelaskan, ada pola manipulasi opini publik yang dapat diidentifikasi, diantaranya percakapan medsos, konten profesional menggunakan politik identitas, penggunaan "giveaway" untuk menarik perhatian, maraknya akun palsu, anonim, robot, influencer hingga durasi kampanye.
Pola ini wajib diwaspadai, mengingat Hasil Pemantauan Hoaks pada Semester I 2024 oleh Mafindo menunjukkan, sepanjang tahapan Pemilu 2024 hoaks tetap menjadi alat penting dalam memanipulasi opini publik.
Contohnya pada bulan Januari 2024, sebanyak 33,3 persen dari hoaks yang tersebar berfokus pada dukungan terhadap capres-cawapres dan reaksi terhadap debat.
"Pentingnya kolaborasi dalam upaya melawan disinformasi juga tercermin dalam tantangan yang dihadapi oleh upaya individu dan organisasi. Tanpa kerjasama dan koordinasi yang baik, potensi upaya mereka untuk menghadapi skala, kecepatan, dan ketepatan penyebaran disinformasi sangat terbatas,” tandasnya.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan upaya pencegahan, deteksi, dan penanggulangan disinformasi dengan kerjasama yang erat antara pihak-pihak terkait.***