METROPOLITAN.ID - Idul Fitri bukan sekadar momen keagamaan yang menandai akhir Ramadan, tetapi juga simbol kemenangan bersama dalam mempererat persatuan bangsa.
Di tengah perubahan sosial yang dipengaruhi oleh globalisasi dan individualisme, Idul Fitri menjadi ajang untuk memperkuat hubungan sosial yang mungkin sempat renggang. Lebih dari sekadar perayaan, Idul Fitri adalah momentum rekonstruksi nilai kebersamaan yang semakin terkikis oleh kesibukan dan kepentingan.
Kemenangan Idul Fitri tidak hanya bermakna spiritual, tetapi juga sosial. Secara spiritual, Idul Fitri mengajarkan pengendalian diri dan peningkatan kualitas pribadi. Dalam konteks sosial, perayaan ini meniadakan sekat-sekat sosial dan menjadi ruang rekonsiliasi bagi masyarakat yang mungkin terbelah oleh perbedaan pandangan atau kepentingan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Pierre Bourdieu yang menekankan pentingnya ritual sosial dalam membangun kebersamaan.
Baca Juga: Kecelakaan Beruntun di Megamendung, Seorang Mahasiswa Tewas
Sejarah membuktikan bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang mampu menyatukan perbedaan sebagai kekuatan bersama. Idul Fitri mencerminkan semangat ini dengan menciptakan kesetaraan di antara masyarakat, di mana semua orang bersatu dalam satu nilai: kemenangan bukanlah milik individu, melainkan hasil dari usaha kolektif untuk menjaga harmoni. Dengan demikian, Idul Fitri berperan sebagai perekat sosial yang efektif dan alami.
Di tengah tantangan sosial-politik saat ini, ancaman terbesar bagi bangsa bukan hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam, seperti perpecahan akibat kepentingan politik dan ekonomi. Identitas bangsa bisa terpecah jika masyarakat terjebak dalam konflik berkepanjangan.
Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai realitas yang dikonstruksi oleh kepentingan tertentu, sehingga menjauhkan manusia dari makna hidup yang sejati. Dalam konteks ini, Idul Fitri hadir sebagai perlawanan terhadap perpecahan sosial, dengan mengajak masyarakat kembali ke nilai-nilai dasar kebersamaan.
Bagi pemuda, Idul Fitri seharusnya bukan hanya momentum silaturahmi, tetapi juga ajang refleksi untuk membangun peran yang lebih besar dalam menjaga persatuan. Pemuda sebagai agen perubahan harus mengambil peran aktif dalam membangun kebersamaan, baik dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi.
Jika generasi muda mampu memaknai Idul Fitri lebih dari sekadar perayaan, tetapi sebagai inspirasi untuk membangun kepemimpinan yang inklusif dan progresif, maka persatuan bangsa akan semakin kokoh.
Di ranah politik, Idul Fitri juga menjadi peluang untuk menciptakan dialog antara berbagai kelompok yang sebelumnya terpecah oleh perbedaan. Pemuda dapat menjadi jembatan dalam proses ini, memastikan bahwa perbedaan pandangan tidak menjadi alasan untuk perpecahan, tetapi justru memperkaya diskusi yang konstruktif bagi kemajuan bangsa.
Namun, persatuan yang terbentuk selama Idul Fitri harus berlanjut sepanjang tahun. Jika kebersamaan ini hanya sebatas seremoni tahunan, maka maknanya akan pudar. Oleh karena itu, semangat Idul Fitri harus menjadi nilai yang terus dijaga dalam kehidupan sehari-hari.
Pemuda, sebagai penerus bangsa, harus memastikan bahwa nilai-nilai kebersamaan ini tidak hanya dirayakan saat Lebaran, tetapi menjadi prinsip dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.