Satryo menempuh pendidikan tinggi di bidang teknik mesin dan meraih gelar Ph.D. dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, pada 1985.
Setelah menyelesaikan studinya, Satryo bergabung dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai dosen Teknik Mesin dan kemudian diangkat menjadi Ketua Jurusan Teknik Mesin pada 1992.
Sebagai seorang akademisi, Satryo memiliki rekam jejak panjang dalam pembaruan pendidikan tinggi di Indonesia.
Baca Juga: 10 Kandidat Pelatih Lokal Siap Bersaing Jadi Asisten Patrick Kluivert di Timnas Indonesia
Ia dikenal sebagai pelopor sistem evaluasi mandiri yang diterapkan di ITB dan kemudian diadopsi secara nasional oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Pada Desember 2000, di bawah kepemimpinannya sebagai Dirjen Dikti, institusi pendidikan tinggi besar di Indonesia mulai bertransformasi menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Meski demikian, transformasi ini tidak lepas dari tantangan, terutama dalam hal kualitas lulusan perguruan tinggi yang dinilai kurang kompeten di dunia kerja.
Baca Juga: SPPG Tanah Sareal Bakal Sediakan Makan Bergizi Gratis Bagi Ibu Menyusui dan Hamil hingga Balita
Satryo juga menghadapi fenomena brain drain, di mana banyak lulusan terbaik Indonesia memilih bekerja atau berkarier di luar negeri.
Di sisi lain, Satryo terus aktif dalam berbagai proyek pengembangan pendidikan. Salah satu kontribusinya adalah keterlibatan dalam tim Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk merancang gedung Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin di Gowa.
Dirinya sendiri menikah dengan Silvia Ratnawati dan dikaruniai dua anak. Salah satu anaknya, Diantha Soemantri, dikenal sebagai akademisi berprestasi.
Baca Juga: Sinopsis Film 1 Kakak 7 Ponakan yang Diperankan Chicco Kurniawan hingga Amanda Rawles
Diantha diangkat menjadi Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada usia 42 tahun.