METROPOLITAN.ID – Kisah pilu dialami salah seorang siswi kelas 2 di salah satu sekolah swasta di Kecamatan Limo, Kota Depok.
Siswi tersebut terpaksa dikubur mimpinya karena tidak bisa melanjutkan pendidikan usai dikeluarkan sekolah lantaran belum melunasi tunggakan biaya pendidikan sebesar Rp9 juta.
Keluarga siswa tersebut merasa terpukul dengan keputusan pihak sekolah yang dianggap sepihak.
Ibu dari siswa tersebut, Nunung mengaku anaknya dinyatakan dikeluarkan sekolah setelah menerima pemberitahuan melalui pesan WhatsApp pada Rabu, 25 Juni 2025.
Meski demikian, ia membalas pesan tersebut dengan menyebut akan mengajukan surat keberatan dan menempuh hak konstitusi yang berlaku.
Dalam surat keberatan yang dilayangkan secara resmi, Nunung menjelaskan bahwa keterlambatan pembayaran terjadi semata karena kondisi ekonomi keluarga yang sedang sulit.
Ia adalah orang tua tunggal yang harus menghidupi dua anak.
Ia tak memungkiri pihak sekolah sempat memberikan tenggat waktu melalui sebuah surat perjanjian pelunasan.
Namun, hingga jatuh tempo, pelunasan belum juga terpenuhi.
Kakak Nunung bahkan telah berupaya melobi pihak sekolah untuk melunasi biaya pendidikan secara bertahap, namun ditolak.
Situasi makin rumit saat muncul sosok pria yang mengaku sebagai "Om" dari siswi yang dikeluarkan tersebut.
Pria itu, yang sebenarnya adalah calon pembeli rumah warisan keluarga, datang ke sekolah tanpa sepengetahuan keluarga dan diduga menyanggupi pembayaran tunggakan.
Namun, setelah komitmen itu tidak dipenuhi, pihak sekolah menjadikan hal tersebut sebagai dasar untuk mengeluarkan LA.
"Saya tidak kenal orang itu. Saya tidak pernah memberi kuasa ke siapa pun untuk mengurus persoalan ini," kata Nunung, Sabtu, 12 Juli 2025.
Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya sempat didatangi oleh perwakilan sekolah dan diminta menandatangani surat perjanjian di atas materai.
Saat itu, Nunung mengaku tertekan dan menandatangani surat tersebut.
Anehnya, dokumen itu hanya dibuat satu rangkap dan langsung dibawa pihak sekolah. Keluarga tidak diberikan salinan.
Perjanjian tersebut mencantumkan bahwa pelunasan harus dilakukan dalam tiga kali cicilan selama satu bulan.
Akan tetapi, tidak ada satu kalimat pun yang menyebut bahwa siswa akan dikeluarkan bila pelunasan gagal dilakukan.
Diduga hal ini dilakukan untuk menghindari potensi permasalahan hukum.
Pada waktu yang disepakati, keluarga hanya mampu membayar Rp 5juta. Sayangnya, pihak sekolah menolak pembayaran itu.
Nunung berharap ada jalan tengah yang adil dan manusiawi, tanpa mengorbankan masa depan anaknya. (Ali)***