METROPOLITAN.ID - Ketua Delegasi COP30 Indonesia yang dipimpin Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol menunjukan sikap tegas pada High Level Ministerial Dialogue on Climate Finance 2025 di pertemuan perubahan iklim ke-30.
Sikap Indonesia menitikberatkan pada pembiayaan iklim yang harus kredibel, terukur, dan berkeadilan. Agar pelaksanaan Pasal 9.1 dan 9.3 Perjanjian Paris serta target New Collective Quantified Goal (NCQG) dapat dicapai dalam jangka pendek dan menengah.
Indonesia mendesak negara maju untuk menunjukkan komitmen nyata dengan meningkatkan transparansi Article 9.5 dan memperbaiki kualitas instrumen pembiayaan agar tidak membebani negara berkembang.
Baca Juga: Awal Mula Terbongkarnya Identitas Asli Dea Halipa, MUA 'Sister Hong Lombok'
Menurut Hanif, dalam 2–5 tahun ke depan, Indonesia menekankan tiga prioritas aksi.
memastikan kepastian dan prediktabilitas aliran dana sebagai basis perencanaan mitigasi dan adaptasi, memperkuat pelaporan UNFCCC sehingga Article 9.5 menjadi data lengkap, dapat diakses, dan berguna untuk melacak kemajuan NCQG.
Serta memprioritaskan kualitas pembiayaan melalui pergeseran ke hibah, pinjaman lunak, dan ketentuan yang meringankan demi melindungi fiskal dan kedaulatan pembangunan negara berkembang.
Baca Juga: Istri Wiranto Meninggal Karena Sakit Apa? Sempat Jalani Perawatan di Bandung
"Pembiayaan iklim bukan sekadar angka di atas kertas, ini soal kelangsungan hidup masyarakat dan kedaulatan pembangunan. Negara maju harus tunjukkan komitmen nyata sekarang, bukan janji di masa depan," kata Hanif Faisol.
Dalam pertemuan HLMD-Climate Finance, keselarasan sikap Indonesia juga diperkuat dengan pernyataan tuntutan dari negara lainnya, seperti yang disampaikan oleh Presiden COP30, Andre Correa do Lago yang menekankan bahwa keputusan NCQG harus mencerminkan skala tantangan.
"Keputusan NCQG harus mencerminkan besarnya tantangan iklim, target pembiayaan publik minimal USD 300 miliar per tahun dan total kebutuhan aksi mencapai USD 1,3 triliun," ungkap Andre.
Menurutnya arsitektur pembiayaan global yang lebih inklusif, responsif, dan berbasis kebutuhan negara berkembang.
Selain itu, Executive Secretary UNFCCC, Simon E. Stiell juga mendesak percepatan implementasi.
"Kita harus beralih dari plan to progress menjadi ambition to action: dari perencanaan menuju implementasi nyata yang ambisius dan terukur," ungkapnya.