guru-menulis

Kontrol Otoriter di Era Digital

Senin, 24 Maret 2025 | 09:23 WIB
Dony P. Herwanto (Mahasiswa Pasca Sarjana, Ilmu Komunikasi Politik, Universitas Paramadina) (Dok Pribadi )

Mengaitkan aktivisme dengan ilegalitas merupakan bagian dari strategi propaganda untuk melemahkan oposisi.

Ketika sebuah gerakan ditampilkan sebagai tindakan anarkis atau melawan hukum, publik cenderung kehilangan simpati, sehingga melemahkan daya tawar aktivis dalam diskursus publik. Inilah fear propaganda.

Normalisasi Otoritarianisme dalam Demokrasi

KOL yang berpihak pada kekuasaan sering kali digunakan untuk menekan kritik terhadap pemerintah dan membentuk narasi bahwa tindakan represif terhadap kelompok yang berbeda adalah hal wajar.

Ini membuka jalan bagi normalisasi praktik otoritarianisme dalam sistem yang seharusnya demokratis.

Stuart Hall (1980) dalam konsep Authoritarian Populism menjelaskan bahwa normalisasi otoritarianisme terjadi melalui penggunaan wacana populis yang menciptakan ilusi keterlibatan masyarakat dalam proses politik, padahal sebenarnya ruang demokrasi semakin dipersempit.

Fenomena ini semakin diperparah dengan teori Manufacturing Consent yang dikemukakan oleh Noam Chomsky dan Edward Herman (1988).

Dalam teori ini, media dan KOL menjadi alat bagi kekuasaan untuk membentuk persepsi publik agar menerima kebijakan otoriter sebagai sesuatu yang sah dan bahkan diinginkan.

Deddy Corbuzier menggunakan narasi populis untuk menciptakan dikotomi antara “kami” (rakyat yang benar) dan “mereka” (pihak yang dianggap penghambat pembangunan).

Narasi ini sudah jamak digunakan untuk menciptakan legitimasi bagi tindakan represif terhadap pihak yang dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas negara.

Teori Authoritarian Populism menjelaskan bahwa dalam masyarakat modern, populisme otoriter dapat menggunakan demokrasi sebagai alat untuk membangun dukungan publik terhadap tindakan yang tidak demokratis.

KOL memainkan peran dalam menyebarkan gagasan ini, membingkai kebijakan otoriter sebagai sesuatu yang "demi kepentingan rakyat”.

Dengan cara ini, masyarakat diarahkan untuk melihat kritik sebagai ancaman terhadap stabilitas negara, bukan sebagai bagian dari kebebasan berbicara yang dijamin dalam demokrasi.

Dampak jangka panjang normalisasi otoritarianisme bisa dilihat dari melemahnya institusi demokrasi, penghapusan kebebasan sipil secara bertahap, meningkatnya otoritarianisme digital, munculnya budaya ketakutan dalam masyarakat, dan delegitimasi pemilu serta partisipasi politik yang semu.

Rebecca MacKinnon (2011) dalam bukunya Consent of the Networked: The Worldwide Struggle for Internet Freedom mengenalkan istilah networked authoritarianism.

Halaman:

Tags

Terkini

OPINI: Inovasi atau Anomali Haji?

Rabu, 19 November 2025 | 21:05 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 09:27 WIB

UMKM Naik Kelas

Selasa, 30 September 2025 | 20:36 WIB