Istilah ini mengacu pada bagaimana rezim otoriter atau aktor pro-status quo menggunakan teknologi digital—terutama internet dan media sosial—untuk mempertahankan kendali politik dan membatasi kebebasan berpendapat, tanpa sepenuhnya memblokir akses ke informasi.
Dalam rezim otoriter tradisional, kontrol terhadap informasi dilakukan melalui sensor ketat dan pembungkaman paksa.
Networked authoritarianism tidak hanya menyensor informasi, tetapi juga membanjiri ruang digital dengan narasi yang menguntungkan pemerintah.
Dalam kasus ini, alih-alih membahas substansi revisi UU TNI (yang mengancam supremasi sipil atas militer), opini publik dialihkan ke legalitas aksi protes aktivis.
Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya dapat dirusak melalui tindakan kudeta atau represi terang-terangan, tetapi juga melalui manipulasi opini publik yang membuat masyarakat sendiri menerima apa yang terjadi sekarang, seperti keriuhan di media sosial sebagai sesuatu yang sah.
Sudah sepantasnya, kita sebagai masyarakat yang waras melawan setiap bentuk normalisasi agar demokrasi tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Deddy Corbuzier tidak hanya mempersempit ruang diskusi, melainkan juga berkontribusi pada normalisasi otoritarianisme dalam demokrasi.
Apa yang disampaikan Deddy Corbuzier bukan sekadar penyampaian opini, melainkan sudah upaya sistematis untuk mengendalikan persepsi publik dan menghilangkan resistensi terhadap langkah-langkah yang mengancam keseimbangan demokrasi di Indonesia. ***
Penulis: Dony P. Herwanto (Mahasiswa Pascasarjana, Ilmu Komunikasi Politik, Universitas Paramadina)