Minggu, 21 Desember 2025

Kontrol Otoriter di Era Digital

- Senin, 24 Maret 2025 | 09:23 WIB
Dony P. Herwanto (Mahasiswa Pasca Sarjana, Ilmu Komunikasi Politik, Universitas Paramadina) (Dok Pribadi )
Dony P. Herwanto (Mahasiswa Pasca Sarjana, Ilmu Komunikasi Politik, Universitas Paramadina) (Dok Pribadi )

DEMOKRASI idealnya menjadi sistem yang memungkinkan setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik melalui kebebasan berbicara dan akses informasi yang adil.

Sayangnya, dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan media sosial, peran individu atau kelompok tertentu dalam membentuk opini publik menjadi semakin dominan.

Contohnya, baru-baru ini, Staf Khusus Menteri Pertahanan bidang Komunikasi Sosial dan Publik, Deddy Corbuzier, mengunggah satu video terkait aksi aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang memprotes pembahasan revisi UU no 34 tahun 2004 tentang TNI di Hotel Fairmont, Sabtu, 15 Maret 2025.

Dalam video yang diunggah, Deddy Corbuzier menyebut, tindakan aktivis tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum, bukan bagian dari kritik.

Sebagai salah seorang influencer atau Key Opinion Leader (KOL), Deddy memainkan peran sebagai propagandis yang mempersempit ruang diskusi demokratis. Evolusi propaganda dari media tradisional ke platform digital telah secara fundamental mengubah lanskap persuasi.

Propaganda yang dulunya berbasis pada media seperti radio, televisi, film, dan surat kabar, yang sering kali disebarkan secara top-down dari pemerintah atau elit berkuasa untuk memengaruhi opini publik, kini bertransformasi menjadi fenomena yang lebih kompleks dan tersebar luas berkat internet dan media sosial (Woolley, 2023).

Dalam masyarakat digital saat ini, KOL kerap kali memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan media arus utama atau media tradisional, sebab KOL dianggap sebagai individu atau kelompok yang lebih dekat dengan masyarakat daripada media mainstream.

Buruknya adalah, KOL mampu mengontrol bagaimana suatu informasi disajikan. KOL mampu mengarahkan opini publik sesuai dengan kepentingan mereka.

Inilah yang terjadi dengan Deddy Corbuzier. Secara sadar, Deddy Corbuzier menjadi alat propaganda yang bertugas memanipulasi wacana publik, terutama ketika video statementnya mereduksi apa yang tengah diperjuangkan oleh aktivis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Dan Deddy Corbuzier sadar betul, medium media sosial menjadi arena pertarungan informasi yang harus direbut, dikendalikan dan dimenangkan.

Sebagai figur publik dengan jutaan pengikut, Deddy Corbuzier memiliki akses ke platform digital yang memungkinkan penyebaran narasi secara luas dan cepat.

Dengan memanfaatkan popularitasnya, ia dapat menggiring opini publik dan mengarahkan perhatian dari substansi revisi UU TNI ke persoalan legalitas aksi protes.

Dengan menyebut aksi protes sebagai “tindakan ilegal” dan “melanggar hukum,” Deddy Corbuzier menggunakan reframing narasi yang bertujuan untuk mengubah persepsi publik terhadap aktivis.

Dalam strategi ini, aktivis tidak lagi dipandang sebagai pembela hak asasi dan transparansi, tetapi sebagai pengganggu demokrasi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

OPINI: Inovasi atau Anomali Haji?

Rabu, 19 November 2025 | 21:05 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 09:27 WIB

UMKM Naik Kelas

Selasa, 30 September 2025 | 20:36 WIB
X