guru-menulis

Koperasi Merah Putih: Solusi atau Simbol?

Sabtu, 12 April 2025 | 08:27 WIB
Ilustrasi koperasi merah putih (Kemenkop )

Oleh : Wien Kuntari, Bayu Widodo, Uding Sastrawan (Dosen Sekolah Vokasi IPB University)

Di berbagai pelosok tanah air, geliat ekonomi desa masih menghadapi tantangan klasik: akses pasar yang terbatas, minimnya modal usaha, hingga ketergantungan yang tinggi terhadap arus ekonomi kota.

Potensi lokal seperti pertanian, kerajinan, dan ekowisata melimpah, namun desa kerap hanya menjadi “penonton” dalam permainan ekonomi yang dikendalikan dari pusat.

Dalam beberapa tahun terakhir, muncul sebuah inisiatif yang mulai menyita perhatian publik dan pembuat kebijakan: koperasi Merah Putih.

Baca Juga: iPhone 16 Series Masuk iBox dan Digimap, Simak Kelebihan Beserta Kekurangannya!

Konsep ini hadir bukan hanya sebagai badan usaha, melainkan juga sebagai simbol perlawanan terhadap ketimpangan, dengan balutan semangat nasionalisme ekonomi dan pemberdayaan dari akar rumput.

Namun, sebagaimana banyak kebijakan populis lainnya, pertanyaannya kemudian muncul: apakah koperasi Merah Putih benar-benar dirancang sebagai solusi jangka panjang bagi ekonomi desa, atau hanya sekadar simbol politik yang menguap seiring pergantian kepemimpinan?

Apakah ia akan menjadi motor penggerak kemandirian desa, atau justru terjebak dalam romantisme nasionalisme ekonomi tanpa strategi nyata?

Baca Juga: Lolos ke 8 Besar! Timnas Indonesia U-17 Siap Hadapi Korea Utara, Cek Jadwalnya di Sini

Jawaban dari pertanyaan ini tidak hanya penting bagi masa depan koperasi, tetapi juga bagi nasib jutaan warga desa yang menggantungkan harapan pada perubahan nyata.

Koperasi: Antara Sejarah dan Harapan

Koperasi bukanlah entitas baru dalam lanskap ekonomi Indonesia. Sejak zaman Bung Hatta—yang kita kenal sebagai Bapak Koperasi—gagasan koperasi telah menjadi simbol perlawanan terhadap sistem ekonomi kolonial dan sekaligus pilar dalam membangun ekonomi rakyat.

Ia disebut sebagai “soko guru” perekonomian nasional, sebuah cita-cita luhur yang menempatkan gotong royong, keadilan, dan kemandirian sebagai fondasi pembangunan (Hatta, 2015). 

Namun, idealisme itu sering kali kandas saat berhadapan dengan realitas di lapangan. Banyak koperasi tumbang sebelum berkembang. Ada yang runtuh karena lemahnya tata kelola, ada yang gagal karena minimnya partisipasi aktif dari anggotanya, dan tak sedikit pula yang terseret arus politik, dijadikan kendaraan sesaat untuk kepentingan segelintir elite.

Halaman:

Tags

Terkini

OPINI: Inovasi atau Anomali Haji?

Rabu, 19 November 2025 | 21:05 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 09:27 WIB

UMKM Naik Kelas

Selasa, 30 September 2025 | 20:36 WIB