Akibatnya, koperasi di mata publik sering kali identik dengan organisasi yang lamban, tidak transparan, bahkan tidak relevan (Sukidjo, 2012) (Suprayitno, 2012).
Dalam upaya memperkuat ekonomi dari tingkat akar rumput, tumbuh pemikiran bahwa koperasi dapat menjadi solusi nyata—dan Koperasi Merah Putih menjawab tantangan ini dengan semangat baru (Media, 2025).
Gagasan ini ingin menghidupkan kembali roh koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat—dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal, penguatan rantai nilai desa, dan menciptakan ekosistem usaha yang berkelanjutan.
Ia muncul sebagai respons atas semakin lebarnya jurang antara desa dan kota, serta kebutuhan untuk membendung laju urbanisasi yang tidak terkendali.
Namun, seperti mimpi-mimpi besar lainnya, harapan ini tentu perlu diuji oleh waktu, konsistensi kebijakan, dan komitmen aktor-aktor di dalamnya.
Karena jika tidak, koperasi Merah Putih hanya akan menjadi jargon lain yang menguap bersama angin politik yang terus berubah arah.
Saatnya Kembali ke Akar
Jika koperasi Merah Putih sungguh ingin menjadi jalan menuju kemandirian desa, maka ia harus kembali ke akar filosofis koperasi itu sendiri: kolektivitas yang tulus, partisipasi yang aktif, dan keberlanjutan yang nyata. Bukan sekadar seremonial peluncuran atau spanduk berlogo Merah Putih di balai desa.
Sebuah koperasi hanya bisa tumbuh jika warga percaya, merasa memiliki, dan terlibat dalam setiap pengambilan keputusan.
Di sinilah peran negara menjadi krusial. Pemerintah tidak cukup hanya hadir sebagai penggagas ide besar atau penyedia dana stimulan. Ia harus menjadi fasilitator sejati—yang sabar membangun kapasitas masyarakat, memperkuat literasi ekonomi warga, mengawal tata kelola secara transparan, dan membuka akses pasar yang adil bagi produk-produk desa. Bukan sistem top-down yang kaku, tapi pendampingan yang melekat dan memberdayakan.
Desa-desa Indonesia tidak sedang menanti “label baru” atau program dadakan yang berumur pendek. Mereka menanti kehadiran ekosistem ekonomi yang membuat mereka merasa cukup untuk tinggal, bangga untuk berkembang, dan percaya bahwa masa depan tidak selalu harus dicari di kota.
Koperasi Merah Putih, jika dijalankan dengan benar, bisa menjadi episentrum kebangkitan itu. Tapi jika tidak, ia hanya akan menjadi nama lain dari janji-janji lama yang tak pernah ditepati.
Penutup: Solusi atau Simbol?
Jadi, koperasi Merah Putih—apakah ia benar-benar solusi, atau sekadar simbol? Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa ditentukan oleh narasi media atau pidato-pidato pejabat semata.
Jawaban sejatinya terletak pada tiga hal mendasar: niat, desain, dan konsistensi. Niat yang tulus untuk memberdayakan, bukan sekadar mempopulerkan.