Namun, untuk jenjang SMA sederajat, berdasarkan Badan Pusat Statisti, sebaran jumlah sekolah yang ada di Indonesia dari tahun ajaran 2020-2021 mencapai 217.283 sekolah.
Jumlah terbanyak adalah sekolah swasta dengan persentase 50,24 persen dari total SMA Negeri di Indonesia (Pradana, Murtadlo, dan Widodo, 2023).
Lebih jauh, hal yang mempertajam disparitas kualitas guru sekolah negeri dan sekolah swasta adalah jumlah guru honorer yang berada di kedua unsur lembaga pendidikan tersebut.
Sekurang-kurangnya, dalam lima tahun terakhir, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebelum dipecah menjadi tiga kementerian pada masa Presiden Prabowo Subianto hari ini, telah secara bertahap melakukan pengangkatan melalui skema ujian untuk guru-guru berstatus honorer, yakni menjadi guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
Pengangkatan guru honorer menjadi PPPK adalah sebuah upaya pemerintah untuk mengoptimalisasi kualitas guru di Indonesia.
Pasalnya, mereka yang sudah diangkat menjadi guru PPPK akan mendapatkan tunjangan sebagaimana guru ASN pada umumnya.
Artinya, secara finansial, guru PPPK sudah mulai bisa memiliki waktu lebih banyak, dibanding ketika mereka masih berstatus honorer yang masih harus mencari tambahan penghasilan di luar sekolah, sehigga mengganggu fokus pengajaran karena minimnya waktu dan endurance untuk peningkatan kualitas diri.
Sekilas, kebijakan ini cukup signifikan, namun bukan tanpa ekses yang berdampak pada masalah baru. Salah satu syarat pengangkatan guru PPPK adalah wajib ber-homebased di sekolah negeri.
Misal, seorang guru swasta yang sudah lama mengajar di lembaga swasta, dengan kinerja dan loyalitas tinggi, harus rela meninggalkan sekolahnya untuk ditempatkan di sekolah negeri. Ini yang akhirnya menjadi masalah baru.
Guru-guru terbaik di sekolah swasta "diambil" oleh pemerintah melalui skema PPPK. Bagi guru bersangkutan, bisa jadi ini bukan masalah, namun bagi lembaga sekolah swasta tersebut, ini menjadi masalah serius. Apalagi jika guru tersebut adalah guru yang memiliki kualifikasi mumpuni dan telah banyak berkontribusi kepada sekolah tersebut.
Pada akhirnya, individu guru dihadapkan pada kondisi dilematis, meninggalkan rumah lamanya demi perbaikan penghasilan di sekolah negeri milik pemerintah.
Secara otomatis, sekolah swasta akan direpotkan mencari guru pengganti, terlebih jika jumlah guru yang diangkat menjadi PPPK jumlahnya banyak. Terjadi sebuah eksodus besar-besaran, yakni perpindahan guru-guru terbaik swasta menjadi guru-guru sekolah negeri. Hal ini mengakibatkan kualitas sekolah swasta dan negeri menjadi semakin tajam.
Ada beberapa sekolah swasta bonafit yang tidak begitu terganggu dengan kebijakan ini, namun jumlahnya berada dalam prosentase yang sangat kecil.
Sekolah swasta dengan kekuatan finansial yang baik, bisa dengan cepat melakukan seleksi guru baru pengganti, namun berapa banyak sekolah swasta dengan kekuatan seperti ini?
Dalam pandangan penulis, Kementerian Pendidikan Dasar danMenengah (Kemendikdasmen) sudah harus mulai berpikir serius dengan fenomena ini.