Koordinasi lintas lembaga antara Pemerintah Daerah, DPRD, KPU, dan Bawaslu dinilai mutlak, disertai keterbukaan informasi anggaran agar pengawasan publik lebih optimal.
"Dana cadangan, harus menjadi instrumen fiskal yang adaptif, akuntabel, dan tidak membebani APBD," tegasnya.
Sementara Fraksi PKB menyampaikan pandangannya secara tertulis karena seluruh anggotanya sedang mengikuti Bimbingan Teknis di Bandung, sesuai surat dari DPW PKB Jawa Barat.
Meski tidak disampaikan langsung, pandangan mereka tetap menjadi bagian dari dokumen pembahasan Raperda ini.
Lalu Fraksi PKS, melalui Iwan Ridwan secara prinsip mendukung pembentukan dana cadangan Pilkada 2029.
Namun, mereka menyarankan agar tahun 2025 dan 2026 difokuskan terlebih dahulu untuk pembangunan daerah dan realisasi janji politik kepala daerah.
Mereka khawatir dana cadangan yang diambil dari APBD murni akan menciptakan idle money dan menghambat kinerja perangkat daerah.
Sebagai solusi, Fraksi PKS mengusulkan agar dana cadangan diambil dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (Silpa) yang setiap tahun nilainya cukup besar.
Siloa tahun 2024 sendiri tercatat mencapai Rp129.053.273.155.
Menurut PKS, dana ini dapat dialokasikan sekaligus pada tahun 2027 atau dibagi dua tahap antara 2027 dan 2028.
Fraksi PKS juga menyoroti pentingnya penghitungan kebutuhan yang transparan dan berbasis kebutuhan riil.
Mereka mengusulkan penempatan dana cadangan dalam bentuk simpanan kas pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik Pemda agar memberi nilai tambah bagi BUMD.
Dengan demikian, dana tersebut tidak hanya mengendap, tetapi juga bermanfaat secara ekonomi lokal.
Seluruh fraksi berharap masukan mereka dapat dipertimbangkan dalam pembahasan selanjutnya bersama eksekutif.
Mereka sepakat bahwa dana cadangan Pilkada harus dikelola secara akuntabel, efisien, dan tidak mengganggu agenda pembangunan daerah, sehingga Pilkada 2029 dapat terselenggara secara demokratis dan stabil tanpa membebani keuangan daerah secara tiba-tiba. (UM)***