Akibatnya hal itu menyulitkan Mahkamah untuk memeriksa lebih lanjut.
Abuse of Power
Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai dalil Pemohon atas nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan melahirkan abuse of power yang terkoordinasi dengan tujuan memenangkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Dalam hal ini, Mahkamah menegaskan kembali kewenangannya untuk masuk dan menilai lebih dalam proses penyelenggaraan pemilu. Terhadap penyelesaian pelanggaran tersebut Mahkamah bukan dalam posisi untuk memberikan penilaian terhadap proses penyelesaian yang telah dilakukan oleh Bawaslu, melainkan memastikan Bawaslu telah melaksanakan kewenangan dan bertindak dengan tepat sesuai dengan asas dan hukum pemilu yang berlaku.
Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Bawaslu menjadi sebuah database pengawasan sekaligus sebagai rekam jejak perolehan suara masing-masing pasangan calon yang sewaktu-waktu dapat dibuka kembali untuk menjadi rujukan dalam persidangan PHPU di Mahkamah.
Berdasarkan hal tersebut, meskipun Mahkamah tidak terikat pada hasil pelaksanaan kewenangan Bawaslu namun ketidakmampuan Pemohon menjelaskan hubungan kausalitas antara pelanggaran tersebut dengan kebebasan pemilih dalam menentukan pilihannya.
“Ditambah pula Mahkamah tidak mendapatkan bukti yang meyakinkan peristiwa yang dikatakan memberikan dampak secara nyata memengaruhi para pemilih pada suatu wilayah. Bahkan Pemohon dalam persidangan tidak dapat membuktikan pengaruh signifikansinya terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon. Dikarenakan tidak didukung dengan bukti lain yang meyakinkan Mahkamah dengan berbagai peristiwa tersebut, maka adanya migrasi perolehan suara yang merugikan Pemohon dan menguntungkan Pihak Terkait tersebut tidak beralasan menurut hukum,” urai Suhartoyo.
Etika Kehidupan Berbangsa dan Berpolitik
Dalam pendapat berbeda, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyoroti tentang keberadaan bansos pada penyelenggaraan Pemilu 2024.
Enny berpendapat sekalipun tidak ada larangan pemberian bansos dengan menggunakan DOP, namun sejalan dengan makna “Etika Kehidupan Berbangsa” penting untuk dilaksanakan secara bijaksana, demi menjamin pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
Sehingga seorang pemimpin diharapkan memenuhi standar yang lebih tinggi daripada yang diperlukan dalam kehidupan pribadi.
Pemimpin mungkin memiliki sedikit hak privasi dibandingkan dengan warga biasa, bahkan tidak memiliki hak untuk menggunakan jabatan mereka demi keuntungan pribadi, keluarga, dan golongan.
Oleh karena itu, seorang pemimpin diwajibkan memahami dan menerapkan pentingnya integritas dan tanggung jawab dalam memegang kekuasaan publik, serta perlunya menjaga pemisahan yang jelas antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Terlebih, dalam konteks penggunaan DOP yang berasal dari APBN untuk bantuan kemasyarakatan menjelang Pemilu 2024 tidak dapat dihindari adanya tujuan politik yang memiliki pengaruh sangat kuat sehingga prinsip pemilu yang dijamin oleh konstitusi menjadi tidak sepenuhnya dapat diwujudkan.
“Menimbang dalil Pemohon tersebut semestinya dapat dinyatakan beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah. Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah,” ucap Enny. (*)