METROPOLITAN - Visi Indonesia Maju yang diusung pemerintahan Joko Widodo hanya bisa diwujudkan dengan adanya Sumber Daya Manusia (SDM) unggul yang lahir dari proses pendidikan berkualitas. Sebagai prasyarat, pendidikan berkualitas membutuhkan guru-guru berkualitas yang lahir dari lembaga pendidikan guru berkualitas pula. Jika sudah begitu, revitalisasi pendidikan guru dan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) menjadi sebuah keniscayaan. Hal itu ditegaskan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) Enggartiasto Lukita saat menyambut ratusan peserta webinar bertajuk ‘Reformasi LPTK untuk Pendidikan Bermutu’ yang diprakarsai IKA UPI dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020, Selasa (12/5). Karena itu, Enggartiasto Lukita mendesak pemerintah agar berani menertibkan LPTK abal-abal. Langkah itu menjadi bagian dari upaya menjadikan pendidikan berkualitas untuk mewujudkan Indonesia Maju dengan bekal SDM unggul di dalamnya. Tanpa LPTK yang notabene produsen guru berkualitas, maka perbaikan pendidikan Indonesia mustahil bisa diwujudkan. Sudah saatnya LPTK berbenah diri dan keluar dari zona nyamannya. “Saya ingin bicara dengan sangat terang. Benahi dulu LPTK! Dalam artian, Pak Dirjen tolong melaporkan kepada Mas Menteri harus ada keberanian untuk menghentikan atau mentutup LPTK abal-abal itu. Tentukanlah parameternya. Kita harus berani melawan arus. Kita harus berani. Karena kalau tidak, sulit rasanya kita untuk berbenah diri,” tegas Enggar, sapaannya. Selain menyoroti keberadaan LPTK unqualified alias abal-abal, Enggar juga mengkritik PPG yang menempatkan sarjana pendidikan pada posisi yang sama dengan sarjana nonkependidikan. Menurutnya, mempersamakan sarjana pendidikan dan nonkependidikan dalam kegiatan PPG merupakan kekeliriuan. Sarjana pendidikan, tegas Enggar, sudah terlebih dahulu ditempa ilmu-ilmu pendidikan selama perkualihan. Proses itu seolah-olah tidak ada artinya ketika saat PPG dipersamakan dengan lulusan nonkependidikan. “S1 nonkependidian itu sama pangkatnya dengan S1 pendidikan guru. Dia sama-sama melakuan satu proses pelatihan untuk layak mengajar menjadi guru. Nggak ada bedanya dengan sertifikat dengan lulusan S1 yang lain. Tidak ada bedanya dengan yang LPTK abal-abal tadi. Kami tidak ingin membedakan antara LPTK negeri dan swasta. Ada banyak juga LPTK swasta yang bagus. Tapi yang abal-abal tadi kelewat banyak,” tegas penerima gelar doktor kehormatan bidang pendidikan kewirausahaan dari UPI itu. Lebih dari sekadar berbenah diri, mantan Menteri Perdagangan Kabinet Kerja itu meminta LPTK terus melakukan inovasi. LPTK harus menjawab tantangan dunia yang terus berubah. Tanpa itu, LPTK akan makin tertinggal dari perguruan tinggi reguler. Di bagian lain, Enggar mengingatkan kebijakan Merdeka Belajar yang menekankan pada pengembangan potensi murid harus turut mempertimbangkan banyak aspek. Proses belajar berkualitas membutuhkan prasyarat tidak mudah. Selain ketimpangan kualitas guru, daya dukung daerah juga berbeda-beda. “Indonesia bukan Jakarta, Indonesia bukan Jawa. Apakah seluruh daerah bagian dari repubik ini sudah puya akses yang sama? Karena harusnya teknologi informasi ini harus terjangkau sampai pelosok. Apakah tenaga pendidik kita sudah sama kualitasnya? Saya sadar sepenuhnya bukan semata-mata tugas Kemendikbud, tapi tugas kita semua untuk bisa berubah dan mereformasi diri. Saya percara reformasi LPTK untuk pendidikan bermutu. Tetapi persayaratan ini harus kita penuhi,” tandas aktivis mahasiswa generasi 1970-an itu. Webinar menghadirkan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Iwan Syahril, Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amich Alhumami, Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan UPI Solehuddin, dan guru berprestasi tingkat nasional dari SMP Negeri 5 Tasikmalaya Ai Tin Sumartini. (be/ar/feb/run)