METROPOLITAN.ID - Setelah video mogok sekolah massal siswa SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, viral di media sosial, kini muncul isu sejumlah HRD perusahaan dikabarkan berencana mem-blacklist lulusan sekolah tersebut dari daftar calon pekerja di masa depan.
Isu ini berawal dari unggahan viral di platform X (Twitter), yang menyebutkan bahwa beberapa HRD mulai “mencatat” nama dan wajah para siswa yang terekam dalam video aksi mogok.
Tujuannya, disebut-sebut, agar bisa menjadi bahan pertimbangan saat proses rekrutmen kelak.
“Beberapa HRD kenalan juga mulai nyimpen jejak digital kasus ini sebagai bahan pertimbangan kalau anak-anak itu nanti ngelamar kerja,” tulis salah satu akun X yang kemudian ramai disorot netizen.
Baca Juga: Dukungan untuk Kepsek SMAN 1 Cimarga Meluas, Netizen Serbu Akun Gubernur Banten
Awal Permasalahan
Aksi mogok sekolah di SMAN 1 Cimarga bermula dari kasus disiplin sederhana: seorang siswa kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Kepala sekolah lantas menjatuhkan sanksi, namun kebijakan tersebut justru memicu gelombang protes besar-besaran dari rekan-rekannya.
Ratusan siswa menolak masuk kelas sebagai bentuk solidaritas. Mereka menilai tindakan sekolah terlalu keras terhadap pelajar yang dianggap hanya melakukan “kesalahan ringan.”
Namun, publik justru menilai aksi itu sebagai bentuk pembangkangan terhadap otoritas pendidik dan melemahkan nilai kedisiplinan.
Video mogok massal itu pun viral di media sosial, menciptakan narasi kontras antara solidaritas siswa dan krisis kedisiplinan generasi muda.
Baca Juga: Viral Siswa SMAN 1 Cimarga Mogok Belajar Usai Kasus Dugaan Kekerasan Kepala Sekolah terhadap Siswa
Tak lama setelah video itu menyebar luas, muncul perbincangan baru di media sosial: sejumlah HRD profesional dikabarkan mulai menyimpan tangkapan layar, nama akun, hingga video yang menunjukkan wajah siswa-siswa peserta aksi.
Narasi ini berkembang pesat, memunculkan kekhawatiran bahwa lulusan SMAN 1 Cimarga angkatan 2026–2028 akan sulit diterima magang atau bekerja di berbagai perusahaan besar.
Meski belum ada bukti konkret bahwa blacklist semacam itu benar-benar dilakukan, isu ini sudah cukup untuk menciptakan efek domino, kekhawatiran di kalangan siswa, guru, hingga orang tua.