Senin, 22 Desember 2025

Dominasi Budaya Korea: Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Era Digital

- Sabtu, 10 Mei 2025 | 06:12 WIB
Maria Fitriah (Mahasiswi Program Doktor Komunikasi Pembangunan IPB University dan Dosen Program Studi Sains Komunikasi Universitas Djuanda) (Dok Pribadi )
Maria Fitriah (Mahasiswi Program Doktor Komunikasi Pembangunan IPB University dan Dosen Program Studi Sains Komunikasi Universitas Djuanda) (Dok Pribadi )

Menurut Heldi Yunan Ardian dalam Jurnal Komunikasi Volume 1, Nomor 1, 45-59 (2017), dalam Perspektif Imperialisme Kebudayaan, asumsi teori imperialisme budaya adalah media berperan utama dalam menciptakan budaya.

Masyarakat yang kurang terampil dalam mengkonsumsi budaya asing akan mengalami krisis identitas. Ini disebabkan karena adanya peleburan budaya (akulturasi) dalam pertukaran budaya.

Nilai-nilai budaya lokal yang harusnya dilestarikan melalui media sosial atau platform untuk diperkenalkan lambat laun akan pudar jika tidak ada kekuatan kita.

Berdasarkan kutipan dari Komunikasiana: Journal of Communication Studies pada volume 2, Nomor 2, Desember 2020, bahwa teori imperialisme budaya oleh Herb Schiller pada tahun 1973 adalah communication and cultural domination, yang menurutnya budaya meletakkan bahwa negara maju mendominasi media di seluruh dunia.

Dalam hal ini, media massa dari negara maju telah mendominasikan media massa dunia ketiga yang tanpa sadar meniru apa yang disajikan media massa yang sudah banyak diisi oleh budaya populer tersebut dan saat itu terjadinya penurunan budaya asli di negaranya yang telah terganti menyesuaikan budaya populer.

Teori imperialisme budaya ini pun tidak lepas dari sanggahan. Teori itu terlalu memandang sebelah kekuatan dari audience dalam menerima terpaan media massa dan menginterpretasikan pesan-pesan di dalamnya.

Teori ini beranggapan bahwa budaya yang berbeda (lebih maju) akan selalu membawa pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Kebudayaan yang berbeda akan sedikit banyaknya dapat mempengaruhi perubahan.

Imperialisme Budaya Korea

Seperti yang dikutip Kompas.com pada 29 Maret 2021 dengan judul “Kpop, antara Hiburan dan Imperialisme”, produk hiburan Korea Selatan semakin digandrungi masyarakat Indonesia, mulai dari film, musik Kpop hingga drama Korea, atau yang sering disebut sebagai Drakor.

The World of the Married, Crash Landing on You, Itaewon Class, serta It’s OK to Not Be OK adalah beberapa dari sederet judul drama Korea yang paling banyak ditonton sepanjang tahun 2020 (Kompas, 31/12/2020).

Korea Selatan menjadi salah satu negara yang berambisi kuat dalam mempromosikan budayanya ke seluruh dunia melalui industri hiburannya.

Industri hiburan Korea Selatan telah berkembang secara signifikan. Hal ini terbukti dengan adanya fenomena Korean wave atau dalam bahasa aslinya disebut Hallyu (한류) yang berarti (gelombang korea). Meluasnya budaya Korea Selatan ke seluruh penjuru dunia disebut Hallyu (Cheonsa, 2011 dalam Khairunnisa, 2019).

Hallyu adalah istilah yang mengacu pada meningkatnya minat publik terhadap budaya pop dan tradisional Korea di seluruh negara. Budaya yang banyak disukai dan disenangi oleh masyarakat disebut dengan budaya populer/pop (Ardia, 2014).

Fenomena Korean Wave di Indonesia ini memperlihatkan dampak budaya lokal yang semakin marak dengan budaya Korea. Korean wave menjadi salah satu ancaman lunturnya budaya lokal.

Korean wave atau demam Korea tersebar melalui Korean pop culture ke seluruh negara, termasuk Indonesia. Demam Korean wave masuk ke Indonesia melalui internet dan televisi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

OPINI: Inovasi atau Anomali Haji?

Rabu, 19 November 2025 | 21:05 WIB

Pahlawan Hari Ini

Senin, 10 November 2025 | 09:27 WIB

UMKM Naik Kelas

Selasa, 30 September 2025 | 20:36 WIB
X