Minggu, 21 Desember 2025

Bela Negara di Ruang Digital

- Kamis, 18 September 2025 | 18:41 WIB
Ruang digital selayaknya dimasuki unsur bela negara untuk menjawab ketakutan akan nasionalisme tergerus disinformasi, hoaks, pengaruh asing. (freepik)
Ruang digital selayaknya dimasuki unsur bela negara untuk menjawab ketakutan akan nasionalisme tergerus disinformasi, hoaks, pengaruh asing. (freepik)

Oleh: Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Angkatan Darat, Letjen TNI Mohamad Hasan

METROPOLITAN.ID - Ruang digital hari ini bukan lagi sekadar “media sosial”; ia telah menjadi ruang hidup tempat kita bekerja, berbelanja, belajar, membentuk opini, bahkan menentukan sikap politik.

Lebih dari 80 persen penduduk Indonesia kini terhubung ke internet; survei APJII 2025 mencatat penetrasi mencapai 80,66 persen atau sekitar 229 juta jiwa.

Dalam ekosistem yang luas dan cair ini, generasi Milenial dan Gen Z tulang punggung bonus demografi menuju Indonesia Emas 2045 tumbuh sebagai digital natives yang menghirup dan mengembuskan informasi saban detik.

Ruang digital yang luas dan dinamis ini sudah selayaknya dimasuki unsur bela negara untuk menjawab keresahan publik yang khawatir nasionalisme dan kecintaan pada negara tergerus disinformasi, hoaks, ujaran kebencian dan pengaruh asing yang bebas keluar masuk di ruang digital.

Baca Juga: Kronologi Dugaan Skandal Asmara Irjen Krishna Murti dengan Kompol Anggraini Putri

Keresahan yang Nyata

Dinamika terkini yang terjadi di ruang digital Indonesia sudah sangat berwarna dan mewarnai kehidupan anak-anak bangsa.

Berbagai unggahan peristiwa dan cerita yang tersajikan di ruang digital adalah gambaran umum bagaimana publik berekspresi dengan bebas, kebebasan ini menghasilkan nilai-nilai berbeda satu sama lain, kemudian menciptakan berbagai pendapat, komentar dan reaksi yang beragam sesuai dengan opini yang muncul di benak orang yang membaca atau menonton unggahan tersebut.

Kondisi ini juga menciptakan keresahan akan dampak yang tercipta dari berwarnanya nilai yang dihasilkan. Ada tiga sumber keresahan publik yang makin terasa:

Baca Juga: Kenapa Tutut Soeharto Gugat Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa ke PTUN?

Pertama, kebenaran yang “ditawar” algoritma. Platform dirancang untuk memaksimalkan waktu tonton dan interaksi. Akibatnya, konten yang memicu emosi, marah, cemas, takjub sering terdorong naik, sementara konten yang akurat namun “kurang sensasional” tenggelam.

Di Indonesia, 57 persen warga mengaku memperoleh berita dari media sosial bukan dari situs media arus utama. Ini membuat proses pembentukan opini amat dipengaruhi kurasi mesin dan influencer ketimbang jurnalisme.

Kedua, ekonomi validasi. Budaya likes, share, comment menciptakan kebutuhan konstan akan pengakuan. Validasi sosial itu legit, tetapi ketika menjadi ukuran tunggal harga diri, ia mudah digiring untuk kepentingan komersial maupun politik. Maka, yang “benar” sering kalah oleh yang “ramai”.

Ketiga, arus mis/disinformasi yang makin canggih. Pemerintah sendiri beberapa kali menekan platform besar untuk memperkuat moderasi, setelah muncul kasus disinformasi (termasuk deepfake) yang memicu keresahan publik.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X