Ketika generasi muda menjadi kurator kebenaran dan produsen solidaritas, bonus demografi berubah menjadi dividen kebangsaan. Ruang digital pun menjelma penangkal, benteng, sekaligus studio kreatif tempat nasionalisme bertumbuh sunyi, tekun, dan berkelanjutan.
Empat “Retakan” yang Harus Ditutup
Pertama, Retakan literasi: banyak yang mahir memakai aplikasi, tetapi belum piawai menimbang kredibilitas sumber, memahami context collapse, atau membaca isyarat manipulasi (judul clickbait, narasi biner “kami vs mereka”, false context).
Kedua, Retakan kepercayaan: survei global memperlihatkan kepercayaan pada berita cenderung stagnan dan rendah; audiens muda makin mengandalkan kreator dan algoritma untuk kurasi.
Ketiga, Retakan insentif: platform memberi penghargaan atas keterlibatan, bukan kebenaran. Tanpa intervensi kebijakan dan inovasi model bisnis berita, insentif ini tak berubah.
Keempat, Retakan tata kelola: regulasi perlindungan anak dan moderasi konten masih berkejaran dengan inovasi teknologi (misalnya deepfake). Pemerintah merespons, tetapi butuh arsitektur kolaborasi yang lebih lincah dengan platform dan masyarakat sipil.
Jalan Keluar: “Bela Negara di Ruang Digital”
Berikut kerangka kerja praktis yang bisa segera kita jalankan tanpa menunggu segalanya sempurna.
Pertama, Kecakapan Warga (Civic Digital Literacy). Terdiri dari Saring sebelum sebar: reverse image search, membaca tentang sumber, cek tanggal, dan kenali teknik disinformasi (mislabel, cheapfake, deepfake); Jejak digital beretika: pegang tiga sumbu fakta, konteks, sopan santun; dan Imunitas algoritmik: sadar bahwa feed adalah filter bubble. Ikuti media kredibel, abaikan sumber toksik, dan rutinkan “diet digital” untuk menyehatkan kurasi.
Kedua, Tanggung Jawab Platform. Terdiri dari Desain aman-by default: reporting yang mudah, rate limit untuk konten viral berisiko, dan friction sebelum reshare konten sensitif; dan Transparansi kurasi untuk konten berita dan politik, serta kemitraan yang adil dengan penerbit.
Ketiga, Penegakan dan Tata Kelola Publik. Terdiri dari Regulasi adaptif: misalnya batas usia media sosial dan sanksi pada platform yang lalai menekan disinformasi; Pusat Respons Cepat Hoaks lintas Kemenhan, Kominfo, TNI, Polri, BSSN, komunitas fact-checker dengan protokol rilis klarifikasi yang ramah share.
Keempat, Gerakan Masyarakat: “Ronda Digital”. Terdiri dari Komunitas kampus, pesantren, karang taruna, dan tech clubs menjadi posko literasi dan early warning hoaks lokal; dan Tantangan kreatif: bikin konten debunk 60 detik, duet klarifikasi, micro-podcast jurnalisme warga.