Menjadi seorang dai merupakan impian Badri Al Asy’ari sejak duduk di bangku Madrasah Diniyah. Kini Badri merupakan pendakwah atau dai muda asal Kota Bogor. Menyentuh kelompok masyarakat minoritas (remaja nakal) yang belum tersentuh atau terperhatikan jadi fokusnya saat ini. Lantas gagasan seperti apa yang dimilikinya? Berikut wawancara Harian Metropolitan dengannya:
Sejak kapan Anda tertarik menjadi seorang pendakwah atau dai?
Sejak kecil atau saat itu Madrasah Diniyah. Karena memang saya dari awal diajarkan orang tua untuk mengaji dan itu tidak boleh libur apa pun alasan dan kondisinya. Baik mau hujan atau panas harus mengaji. Apalagi setelah itu atau kelas 5 SD saya mulai mondok di Ponpes Al Anshor hingga lanjut SMP di ponpes yang sama. Di situ saya belajar mengaji, baca kitab kuning hingga lain sebagainya. Kemudian saat SMA saya memilih sekolah di Ciamis sambil melanjutkan mondok. Kebetulan kiya di SMA saya sekolah itu merupakan dai dan di sana saya sering melihat beliau saat memberikan dakwah dari satu tempat ke tempat lainnya. Nah dari situ saya termotivasi untuk menjadi seorang pendakwah hingga saat ini.
Apa yang melatarbelakangi Anda mau memilih menjadi seorang dai?
Tentunya yang pertama adalah faktor keluarga. Lalu, lingkungan sekolah dan yang paling penting itu dorongan atau dukungan dari guru saya. Kemudian dari situ mulailah terbentuk dalam jiwa saya untuk menyampaikan apa yang bisa saya sampaikan. Sesuai dengan Hadits Riwayat Bukhari, sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.
Lalu, hal seperti apa yang ingin Anda lakukan dengan menjadi seorang dai?
Jadi sederhananya kalau dai itu konsepnya menyampaikan segala sesuatu yang baik. Mengarahkan orang yang tadinya tidak baik menjadi lebih baik. Sama halnya saya punya gagasan dan konsep bagaimana kita menyentuh orang-orang yang tidak tersentuh, seperti contoh orang-orang yang latar belakangnya negatif khususnya remaja nakal. Nah, siapa yang mau menyentuh mereka, maka kita yang harus menyentuh mereka.
Tetapi konsepnya kita tidak serta merta kemudian harus berjubah, bertopi serta memakai pakaian yang wah. Melainkan dengan berpakaian biasa saja, ikut nongkrong atau ngobrol bareng sama mereka. Dari situ kita akan tahu keluhan mereka seperti apa dan di situ pula kita mulai masuk sedikit demi sedikit mencarikan solusi untuk mereka, untuk berubah mereka menjadi lebih baik.
Karena saya rasa dengan sentuhan-sentuhan itu secara sikologis akan berpengaruh kepada mereka. Termasuk, konsep dai yang saya pahami itu bukan sekadar dakwah di mimbar saja. Tetapi, sama halnya ketika kita kumpul-kumpul dengan masyarakat serta silaturahmi secara door to door ke rumah warga.
Selama Anda menjadi seorang dai apakah ada prestasi atau hal-hal yang bisa Anda banggakan?
Prestasi bagi saya itu ketika berhasil melihat anak-anak yang tadinya nakal, bisa berubah secara total menjadi lebih baik. Termasuk, ada salah satu anak didik saya, dari kalangan non muslim yang tidak pernah saya ajak untuk masuk memeluk agama Islam. Akan tetapi, anak ini mempertanyakan kepada saya Islam itu apa dan ia ingin memeluk Islam. Meski orang tuanya sempat menolak keputusan anak ini, dia bersikeras ingin menjadi seorang mualaf. Jadi menurut saya ini prestasi bagi saya selama berdakwah langsung dengan menyentuh masyarakat. Alhamdulillahnya, hingga saat ini anak didik saya sudah menikah dan masih memeluk agama Islam.
Perubahan dan harapan seperti apa yang Anda impikan?
Minimal para remaja di Kota Bogor ini berubah dari sisi karakternya. Misalkan, yang tadinya bias, tidak bisa terkontrol dan tidak bisa dikendalikan orang tuanya, dengan keberadaan kita, mereka bisa dikendalikan dan nantinya mereka sendiri yang akan mengendalikan dirinya masing-masing. Kemudian, bagaimana para remaja dan masyarakat Kota Bogor memiliki mainsate menjalankan hidup baik sesuai ajaran Islam. Lalu, setelah mereka berubah menjadi lebih baik, nantinya mereka menularkan atau menyampaikan kebaikan ini kepada orang lain atau di sekitarnya.
Terakhir, apakah ada pengalaman menarik yang Anda rasakan?