METROPOLITAN.ID - Aktivitas tambang galian batu hijau di Blok Gunung Walang, Desa Kertaraharja, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, menuai protes dari warga setempat.
Aktivitas galian yang diduga belum mengantongi izin tersebut dinilai meresahkan, terutama karena menimbulkan kebisingan dan dampak negatif lainnya.
Hal itu disampaikan Aktivis Fraksi Rakyat Sukabumi, Rozak Daud.
Baca Juga: Kecelakaan di 'Jalur Maut' Sukabumi Sagaranten, Kali Ini Pemotor Tabrak Truk Diesel
Menurutnya, bahwa sejak tambang tersebut beroperasi, warga yang tinggal berdekatan dengan kawasan tambang merasa cemas.
Ia menyebut adanya keluhan dari warga terkait dampak langsung yang dirasakan, mulai dari polusi debu, getaran, hingga kebisingan akibat kendaraan angkutan material tambang yang hilir mudik.
“Kalau pengaduan warga ke kita, ada lahan warga yang ditambang juga di luar lokasi pemilik tambang. Selain itu, dampak dari aktivitas tambang ini selain berdebu, juga ada getaran serta kebisingan kendaraan angkutan. Apalagi, jaraknya antara lokasi tambang dengan pemukiman penduduk itu, ada sekitar 100 sampai 200 meter,” kata Rozak, saat di konfirmasi via telpon, Jumat (10/1/2025).
Baca Juga: Presiden Sekolah Bisnis IPB Sayangkan Dualisme Kadin Kota Bogor : Ganggu Dunia Pengusaha Muda
Selain menimbulkan gangguan lingkungan, sambung Rozak, warga juga khawatir akan potensi kerusakan yang lebih besar, seperti longsor atau kerusakan lahan produktif.
“Bahkan, pada beberapa waktu lalu, warga sempat melaporkan adanya banjir yang diduga akibat dari aktivitas tambang batu hijau tersebut,” tandasnya.
Berdasarkan pengaduan dari warga setempat, lanjut Rozak, aktivitas tambang batu hijau ini telah beroperasi sejak empat bulan lalu, meskipun perizinannya masih belum jelas.
“Padahal, hingga saat ini, proses perizinan baru sampai pada pertemuan di Dinas Pertanahan dan Tata Ruang pada 2 Januari 2025 lalu. Namun, kegiatan produksi dan pengangkutan material tambang sudah berlangsung cukup lama,” imbuhnya.
Kelemahan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan di Sukabumi menjadi sorotan. Menurut laporan, beberapa pelaku usaha sering menganggap persetujuan warga, surat domisili desa, atau rekomendasi dari pihak kecamatan sebagai izin yang sah untuk memulai operasi. Padahal, langkah tersebut belum memenuhi prosedur legal yang seharusnya ditempuh.
“Yang jadi aneh, pejabat yang mengeluarkan rekomendasi dari tingkat bawah justru diam. Pertanyaannya, apakah mereka tidak tahu tahapan yang harus ditempuh oleh pelaku usaha, atau memang sengaja pura-pura tidak mau tahu? Ini sangat berbahaya, karena artinya membiarkan kegiatan yang belum lengkap perizinannya tetap berjalan,” tandasnya.